Rabu, 10 Januari 2018

Makalah Tafsir Tahlili Juz 6-10

I
PENDAHULUAN
Al-quran diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita yang akan datang.
Agaknya tidak berlebihan jika dikemukakan bahwa diantara cabang ilmu yang sangat penting dari rumpun-rumpun ilmu Alquran adalah ilmu Tafsir. Hal ini bukan karena semata-mata lebih tua dariu cabang-cabang ilmu-ilmu Alquran lainnya, akan tetapi lebih kepada peranannya yang sangat penting dalam menggali dan memahami ayat-ayat Alquran. Dalam perjalanan waktu yang sangat panjang, sejak turunnya Alquran kepada nabi Muhammad Saw., ilmu Tafsir terus berkembang dan terdapat banyak kitab-kitab tafsir dengan corak yang beraneka ragam. Para ulama tafsir belakangan memilah-milih kitab teresbut berdasarkan metode penafsirannya, baik ijmali, tahlili, maudhu’i dan muqaran.                                                             
Yang paling populer dari antara corak atau metode penafsiran tersebut adalah metode tahlili dan maudhu’i. Penafsiran dengan metode tahlili yang oleh Baqir dinamai sebagai metode Tajzi’i adalah sebuah metode tafsir dimana mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat demi ayat atau surah demi surah sebagaimana tersebut dalam mushaf. Untuk lebih jelasnya, makalah ini akan membahas beberapa kajian yang terkait dengan tafsir tahlili tersebut.


II
PEMBAHASAN
A. Tafsir Tahlili Ayat 41-47 Surat At-Taubah

PERINTAH PERANG
انفِرُوا۟ خِفَافًا وَثِقَالًا وَجٰهِدُوا۟ بِأَمْوٰلِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿التوبة:٤١﴾

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

Kosakata:  فِى سَبِيلِ اللَّهِ

Fi sabilillah, terdiri dari kata  fi  sebagai kata penghubung yang di atau di dalam. Kata sabilillah adalah sifah musyabbahah bi isim fa’il dari sabala –yasbulu-sablan, yang berarti jalan yang menyampaikan seseorang pada Allah, baik melalui akidah, maupun perbuatan. Secara khusus fi sabilillah berperang melawan musuh agama. Secara umum makna fi sabilillah mencakup segala perbuatan atau amal yang ikhlas, yang dipergunakan untuk taqarrub kepada Allah dengan melaksanakan segala perbuatan yang wajib ataupun sunna`h. Dan kata fi sabilillah disebutkan 67 kali dalam Al-Qur’an dan tersebar di berbagai surat.

Munasabah

Ayat-ayat yang lalu mengecam orang-orang yang tidak pergi berperang bersama Rasulullah saw, dan yang merasa enggan pada waktu dianjurkan dan diperintahkan berperang. Ayat ini mewajibkan setiap muslim pergi berperang dan tidak dibenarkan tidak ikut berperang mempertahankan diri, tanah dan agama tanpa alasan.

Tafsir

          Pada ayat ini diterangkan bahwa apabila keselamatan kaum muslimin terancam, berperang bukan lagi anjuran, tetapi wajib, sehingga tidak seorang muslimin pun yang dibenarkan untuk tidak ikut dalam ekspedisi itu. Setiap orang yang sehat, dewasa, kaya dan miskin wajib tampil ke medan juang untuk membela islam dan menegakkan kebenaran. Orang-orang yang uzur yang dibenarkan syarat tidak diwajibkan, seperti terlalu tua, lemah fisik, cacat, tak berdaya, sakit keras dll. Karena mereka akan menjadi beban jika diikutsertakan. Firman Allah swt:

لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَى وَلَا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ  
Artinya:
Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. (9: 91)
 Mereka diperintahkan berjihad berjaga-jaga dari serangan musuh, mempertahankantanah air, mendermakan harta dan dirinya untuk menegakkan keadilan, dan meninggikan kalimat Allah, tampil ke medan perang maupun berjihad dengan harta, dengan maksud menjunjung tinggi derajat umat dan agama. Jika dilakukan dengan ikhlas akan memberi kebahagian di dunia dan di akhirat kelak. Dalam tafsir al-Misbah karangan M. Quraish Shihab, Imam az-Zuhri meriwayatkan bahwa ulama besar, Sa’id Ibnu al-Musayyib, ikut berpa   tisipasi       dalam peperangan walaupun salah satu matanya tidak melihat lagi. Ketika ada yang berkata kepadanya “Bukankan engkau memiliki udzur untuk tidak ikut?” beliau menjawab: ”Allah memerintahkan untuk pergi berjihad bagi yang keadaannya ringan dan berat, kalau aku tidak dapat ikut berperang, paling tidak aku memperbanyak jumlah pasukan dan akupun dapat menjaga barang-barang dan perlengkapan.”                                                                              
         

REAKSI ORANG MUNAFIK TERHADAP PERINTAH PERANG

وْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لَّاتَّبَعُوكَ وَلٰكِنۢ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ ۚ وَسَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْ يُهْلِكُونَ أَنفُسَهُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّهُمْ لَكٰذِبُونَ ﴿التوبة:٤٢﴾ عَفَا اللَّهُ عَنكَ لِمَ أَذِنتَ لَهُمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَتَعْلَمَ الْكٰذِبِينَ ﴿التوبة:٤٣﴾ لَا يَسْتَـْٔذِنُكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ أَن يُجٰهِدُوا۟ بِأَمْوٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌۢ بِالْمُتَّقِينَ ﴿التوبة:٤٤﴾ إِنَّمَا يَسْتَـْٔذِنُكَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِى رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ ﴿التوبة:٤٥﴾
Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: “Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu”. Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.(42)
Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?(43)
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk tidak ikut berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa.(44)
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.(45)
Kosakata:  الشُّقَّةُ

          Kata asy-syuqqah diambil dari syaqqa – yasyuqqu – syaqqan wa masyaqqatan, yang berarti berat dan melelahkan, lawan dari mudah dan kebahagian. Maksud dari ungkapan ini adalah perjalanan jauh. Perjalanan jauh pada umumnya dirasakan berat, atau melelahkan. Sifat orang-orang munafik seperti yang disebutkan pada surat at-Taubah(9:42), muncul karena mereka enggan mengikuti ajaran nabi Muhammad untuk berjihad, maka walaupun perjalan untuk berjihad tidak berapa jauh jaraknya dari tempat tinggal mereka, namun terasa jauh bagi mereka. Kata asy-syuqqah hanya sekali disebutkan dalam Al-Qu’an.

Munasabah  

          Ayat-ayat yang lalu menganjurkan kepada kaum muslimin agar turut serta ke medan perang kemudian disusul dengan mewajibkan perang kepada mereka. Ayat-ayat ini menerangkan reaksi dan sikap sebagian kaum munafik terhadap anjuran dan perintah wajib perang itu.

Tafsir

           (42) Ayat ini menjelaskan latar belakang tidak ikutnya orang-orang munafik ke medan perang  sekalipun sudah  diumumkan perintah wajib perang. Di antara alasan dari keengganan mereka, karena pergi berperang akan menempuh jarak yang  jauh, pada musim panas, dalam keadaan serba kekurangan, dan belum tentu menang serta memperoleh rampasan perang (ganimah). Mereka bersikap pesimis, karena yang dihadapi adalah tentara Romawi yang terlatih, kuat, dan banyak jumlahnya.
Jika mereka diperintahkan ke tempat yang dekat yang tidak mengharuskan mereka bersusah payah dalam perjalanan, pasti mendapatkan kemenangan, dan memperoleh keuntungan dengan mudah, tentunya mereka mau dan tidak akan enggan berperang. Untuk menyembunyikan kemunafikannya, mereka tidak segan bersumpah dengan nama Allah bahwa jika mereka sanggup dan ada kemampuan, tentunya mereka ikut berangkat bersama. Sumpah ini mereka ucapkan sebagai alasan ketika kaum Muslimin sudah kembali dari perang Tabuk dengan selamat dan berada sudah di tengah- tengah mereka, sebagaimana firman Allah:
يَعْتَذِرُونَ إِلَيْكُمْ إِذَا رَجَعْتُمْ إِلَيْهِمْ
Mereka (orang-orang munafik yang tidak ikut berperang) akan mengemukakan alasannya kepadamu ketika kamu telah kembali kepada mereka. (at-Taubah 9: 94)
 Mereka menduga bahwa sumpah palsu yang mereka ucapkan itu menguntungkan mereka dan dapat menutupi kemunafikannya, padahal sebenarnya tindakan itu hanya mencelakan mereka. Di samping itu, sumpah palsu termasuk salah satu dosa besar, sebagaimana sabda Rasulullah saw: ”Dosa besar itu ialah, menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua ibu bapak, membunuh diri seseorang dan bersumpah palsu.” (Riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As)
Allah swt mengetahui kebohongan dan kepalsuan sumpah mereka dan Allah akan membalas semuanya itu.
 (43) Menurut riwayat Mujahid, ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik yang minta izin kepada Rasulullah dengan berbagai alasan untuk tidak pergi berperang. Padahal dizinkan atau tidak, mereka tetap saja akan tinggal di Medinah, dan tidak akan ikut ke medan perang.
 Allah telah memaafkan  Nabi Muhammad saw karena telah memberikan izin kepada beberapa orang munafik tidak turut bersama ke medan perang setelah mereka mengemukakan alasan yang dibuat-buat, sebelum ada wahyu dari Allah swt yang memberikan persetujuan atas permintaan mereka itu. Andaikan Nabi Muhammad saw memenuhi permintaan mereka dan tidak mengizinkan mereka, tentulah rahasia mereka terbuka, sebab diizinkan tau tidak, mereka tidak akan pergi bersama ke medan peran.
 (44) orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tentu tidak akan mencari-cari alasan untuk tidak ikut berperang membela agama dan menegakkan kebenaran. Mereka juga tidak akan meminta izin kepada Rasulullah saw untuk tidak berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, bahkan sebaliknya mereka selalu siap sedia mengorbankan hartanya, sesuai dengan kemampuannya, bahkan jiwanya pun siap dikorbankan. Allah swt mengetahui orang-orang yang bertakwa kepada-Nya yaitu orang-orang yang selalu menghindari hal-hal yang menyebabkan kemurkaan Allah, dan mengerjakan apa-apa yang diridai-Nya.
(45) Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang minta izin kepada Rasulullah saw untuk tidak turut berijihad tanpa alasan yang dapat diterima,  adalah orang-orang munafik yang tidak beriman kepada Allah swt, tidak mengakui keesaan-Nya, dan tidak percaya kepada hari akhir. mereka menyangka bahwa membelanjakan harta kekayaan di jalan Allah, adalah suatu kebodohan dan kerugian serta  berjihad dengan mengorbankan jiwa adalah semata-mata kerugian dan penderitaan saja. Di dalam hati mereka tersimpan perasaan ragu kepada kebenaran agamanya. Mereka selalu bingung dan bimbang. Mereka mau bekerja sama dengan orang-orang mukmin dalam urusan yang mudah, tetapi dalam hal yang agak sulit dan berat seperti berperang, mereka mengelak dan mencari berbagai alasan yang dibuat-buat untuk menghindar atau membebaskan diri dari kewajiban tersebut.


MENGADU DOMBA ADALAH SIFAT ORANG MUNAFIK
وَلَوْ أَرَادُوا۟ الْخُرُوجَ لَأَعَدُّوا۟ لَهُۥ عُدَّةً وَلٰكِن كَرِهَ اللَّهُ انۢبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا۟ مَعَ الْقٰعِدِينَ ﴿التوبة:٤٦﴾
لَوْ خَرَجُوا۟ فِيكُم مَّا زَادُوكُمْ إِلَّا خَبَالًا وَلَأَوْضَعُوا۟ خِلٰلَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيكُمْ سَمّٰعُونَ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌۢ بِالظّٰلِمِينَ ﴿التوبة:٤٧﴾

Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu”.(46)
Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara kamu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.(47)
Kosakata: خَبَالًا
Kata khabalan diambil dari khabala – yakhbulu - khablan wa khabalan, yang berarti kerusakan. Pada mulanya kerusakan pada anggota badan. Ungkapan khubilat yaduhu artinya tangannya terpotong dan rusak. Kemudian dipakai untuk hal hal yang maknawi. Ayat 47 at-Taubah menyebutkan bahwa  jika orang munafik keluar bersama kaum Muslimin untuk berjihad, atau jumlah mereka sedikit, niscaya mereka akan berbuat kerusakan. Mereka itu pasti akan masuk ke celah-celah kaum Muslimin untuk mengetahui rahasia serta kekuatan dan kelemahan, lalu menghembuskan isu-isu negatif, untuk mengacaukan yang menimbulkan kerusakan di antara kaum Muslimin.
Munasabah
 Ayat-ayat yang lalu menerangkan bahwa orang-orang yang merasa enggan memenuhi seruan Nabi Muhammad saw dan meminta izin untuk tidak berperang ialah orang-orang munafik. Ayat-ayat ini menerangkan sifat sifat mereka yang membahayakan, di antaranya suka membuat kekacauan di barisan kaum Muslimin.

Tafsir
          (46) Ayat ini menerangkan bukti kepalsuan sumpah mereka dan kebohongan ucapan mereka, yaitu tidak terdapatnya tanda-tanda bahwa mereka akan ikut berperang. Kalau benar mereka mau berangkat ke medan perang tentunya mereka menyiapkan peralatan yang diperlukan seperti bekal, kendaraan, senjata, dan sebagainya.
 Tidak berangkatnya orang-orang munafik ke medan peran merupakan keuntungan bagi kaum Muslimin, karena kalau mereka ikut bersama ke medan perang, mereka tentu akan mengadu domba antara kaum Muslimin dan mengacaukan barisan. Itulah sebabnya Allah menjadikan niat mereka lemah, khawatir, dan ragu-ragu di dalam hatinya, menyebabkan mereka merasa enggan dan tidak mau berangkat, seakan ada yang mengatakan kepada mereka dengan nada marah, “Tinggal sajalah kamu sekalian bersama anak-anak, perempuan, orang lemah, orang sakit, dan tak usah berangkat ke medan perang.” Perkataan ini menyenangkan orang-orang munafik karena dianggapnya kata-kata itu sesuai dengan kehendak dan keinginannya, sekalipun kata-kata itu diucapkan dengan nada yang kurang menyenangkan.
(47) Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa kalaupun orang-orang munafik yang meminta izin itu berangkat juga bersama kaum Muslimin, mereka tidak akan menambah ketenangan dan semangat kaum Muslimin, tetapi sebaliknya mereka akan mengacaukan konsentrasi kaum Muslimin dan merusak persatuan, serta melemahkan sikap tegar mereka, Allah mengetahui orang-orang yang zalim dan memberi balasan yang setimpal di hari kemudian nanti.
  
Kesimpulan
1.       Berperang itu wajib hukumnya bila kondisinya sudah mengharuskan kaum mukmin berperang, baik dalam keadaan merasa ringan ataupun berat.
2.       Berperang itu membutuhkan pengorbanan dengan harta dan nyawa. Pengorbanan dengan harta dan jiwa di jalan Allah dinamakan Jihad fi sabilillah. Jihad fi sabilillah adalah jalan terbaik mencari rida Allah dan puncak ajaran Islam.
3.       mampu berjihad fi sabilillah karena mereka tidak siap mengikuti perjalanan jauh dan mereka ragu terhadap janji Allah. Mereka suka mencari-cari alasan. Sikap seperti itu sebenarnya membinasakan diri mereka sendiri. Allah Mahatahu mereka itu pembohong.
4.       Orang-orang yang meminta izin pada Rasulullah saw. untuk tidak ikut berjihad dengan harta dan jiwa itu adalah orang-orang munafik yang imannya masih ragu-ragu. Allah tidak suka mereka ikut berjihad karena akan mengacaukan saf para Mujahidin dengan menyebar isu-isu bohong karena ingin mencelakakan kaum mukmin.
5.       Kelompok munafiqun itu sudah ada di zaman Rasul saw. dan akan tetap ada sampai kiamat. Mereka perusak umat dari dalam.


Daftar Pustaka

Kementrian Agama RI. Al-Qur’an Dan Tafsirnya jilid 4. Jakarta: Lembaga    Percetakan Al-Qur’an Kementrian Agama, 2010


Shihab, M Quraish. Tafsir Al-Misbah volume 5. Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar